: Konsep Perubahan dan Keberlanjutan dalam Sejarah (Lanjutan)

A.   Apa itu sejarah?

Sartono Kartodirdjo dalam Rustam E. Tumburaka (2002) mengatakan bahwa sejarah dapat dibagi menjadi dua pengertian yakni: Pertama, sejarah dalam arti subjektif yaitu suatu konstruksi, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita yang mencakup rangkaian fakta-fakta untuk menggambarkan gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Kedua, sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa yaitu sejarah dalam aktualisasinya. Dimana kejadian tersebut hanya terjadi sekali dan tidak terulang kembal. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun juga.

Ibrahim (1986), menterjemahkan perkataan sejarah (History) yang kita gunakan pada masa kini berpunca daripada perkataan Arab yaitu Syajaratun yang bermaksud Pohon. Dari sudut lain pula, istilah history merupakan terjemahan dari perkataan Yunani yakni Histories yang membawa makna satu penyelidikan ataupun pengkajian. Mengikut pandangan "Bapak Sejarah" Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kisaranan jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban. Mengikut definisi yang diberikan oleh Aristoteles, bahwa Sejarah merupakan satu sistem yang mengira kejadian semulajadi dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekor-rekor atau bukti-bukti yang kukuh (Suntralingam, 1985).

Sejarah ialah kisah masyarakat manusia atau kisah kebudayaan dunia, yaitu kisah perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban, masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, kisah kegiatan dan pekerjaan manusia, yaitu pekerjaan untuk mendapatkan nafkah, atau kegiatan dalam macam-macam ilmu dan usaha, dan umumnya kisah dari perubahan yang terjadi karena kodrat manusia. Keadaan dunia dan keadaan negara-negara dan adat lembaganya serta cara-cara penghidupannya (produksi) tidak tinggal tetap dan bersifat kekal (tak berubah) akan tetapi terus berubah sepanjang masa dan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Demikian halnya manusia, waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka iklim, masa, daerah dan negara juga akan mengalami perubahan itulah hukum yang telah ditentukan oleh Allah untuk para mukmin (Ali, 2005).

Menurut Collingwood (1966), sejarah ialah sejenis bentuk penyelidikan atau suatu penyiasatan tentang perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Manakala Shefer pula berpendapat bahawa Sejarah adalah peristiwa yang telah lepas dan benar-benar berlaku. Sementara itu, Gazalba (1966), coba menggambarkan sejarah sebagai masa lampau manusia dan persekitarannya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku. Sebagai usaha susulan dalam memahami sejarah, Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka telah memberikan Sejarah sebagai asal-usul, keturunan, salasilah, peristiwa yang benar-benar berlaku pada waktu yang lampau, kisah, riwayat, tambo, tawarikh dan kajian atau pengetahuan mengenai peristiwa yang telah berlaku. Sejarah dalam erti kata lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih bagi membolehkan manusia memperkayakan pengetahuan supaya waktu sekarang dan akan datang menjadi lebih cerah. Dengan itu akan timbul sikap waspada (awareness) dalam diri semua kelompok masyarakat kerana melalui pembelajaran Sejarah, ia dapat membentuk sikap tersebut terhadap permasalahan yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat dijadikan pengajaran yang berguna. Pengertian Sejarah boleh dilihat dari tiga dimensi iaitu epistomologi (kata akar), metodologi (kaedah sesuatu sejarah itu dipaparkan) dan filsafat atau pemikiran peristiwa lalu yang dianalisa secara teliti untuk menentukan sama ada ia benar atau tidak (Ibrahim, 1997).

B.     Perubahan dalam Sejarah

Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subyektifitas sejarah dalam pembelajaran sejarah tidak mengorbankan ilmu sejarah. Sebagaimana pandangan Abdullah (1996) bahwa sejarah sebagai alat pemupuk ideologi, betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa meniadakan validitas dari apa yang akan disampaikan. Pemisahan kurikulum antara sejarah “kognitif” (pengetahuan) dengan yang “afektif” (perasaan) yang pernahdilakukan, bukan saja artifisial, tetapi juga memperlihatkan kemandulan dalam pemikiran kesejarahan. Seakan-akan, sejarah yang diketahui tidak bertolak dari keingintahuan yang subyektif, demi didapatkan kearifan yang afektif.

Mengutip pernyataan dari Elton, sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik, terhadap alasan mengkaitkan sejarah dengan proses pendidikan. Proses pendidikan sejarah dianggap hanya menjadi sumber kecenderungan etnosentris bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu, Namier berpendapat bahwa peran sejarah sebagai “moral precepts” atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atau ideologi tertentu (Elton dalam Widja, 1997).

Selain itu, Mahasin berpandangan bahwa kritik umum kepada pendukung nilai edukatif sejarah dalam penanaman nilai-nilai sejarah melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan mendidik itu sendiri yang bersifat ekstrinsik atau instrumental. Padahal dalam teori belajar yang lebih utama adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental dalam pendidikan sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang sudah ditentukan sebelumnya (predefined person) baik dalam rangka “cultural transmission” maupun dalam penyiapan “ moral precepts” bagi generasi baru. Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan masa kini atau kecenderungan presentisme. Pengaburan seperti ini bisa mendorong generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Mahasin dalam Widja, 1997).

Menurut Abdullah (1996) jika disimpulkan, sejarah sebagai wacana intelektual akan tampil secara bertahap dengan berbagai wajah. Pertama, sebagai sejarah yang bernada moralistik, yang merupakan pertanggungjawaban rasional akan keharusan hidup bermasyarakat. Kedua, sejarah sebagai alat pengetahuan praktis, yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui struktur hari dan dunia kini dan ketiga, sejarah sebagai pembimbing kearah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untukmemungkinkan terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya atau alat untuk memahami dunia intellegency.

Pengajaran sejarah penting dalam pembentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan. Suatu pengetahuan sejarah yang ditunjang pengalaman praktis warga negara yang baik di sekolah membantu memperkuat loyalitas dan membantu anak-anak menemukan dirinya dengan latar belakang sejarah luas (Jarolimek, 1971). Rowse (1963) menegaskan bahwa sejarah adalah suatu mata pelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Sementara itu Collingwod (1973) mengatakan bahwa nilai sejarah adalah mengajarkan kepada kita tentang manusia dan apa yang telah dilakukannya. Dalam konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan sejarah mempunyai fungsi fundamental (Kartodirdjo, 1993).

Pada perkembangannya, pendidikan sejarah sangat bergantung pada ilmu sejarah. Siswa sebagai objek didik tentu membutuhkan pengetahuan dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks tentang, apa itu sejarah?, sebelum mereka mempelajari rentetan peristiwa dalam sejarah. Dalam konteks itu, ilmu sejarah sendiri secara alamiah memfokuskan diri pada kajian tentan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau dengan tujuan mengambil hikmah. Masa lampau memiliki pengertian yang sangat luas, bisa berarti satu abad yang lalu, puluhan tahun yang lalu, sebulan yang lalu, sehari yang lalu atau sedetik yang lalu, bahkan waktu sekarang ketika sedang membaca tulisan ini akan menjadi masa lampau. Kita harus menyadari bahwa rangkaian peristiwa sejarah sejak adanya manusia sampai sekarang adalah peristiwa yang berkelanjutan atau berkesinambungan (continuity) dari satu titik ke titik selnjutnya.

Selain membahas manusia dan masyarakat, sejarah juga melihat hal lain, yaitu waktu. Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah. Sehubungan dengan konsep waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2001) meliputi perkembangan, keberlanjutan/kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Disebut mengalami perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara berturut-turut dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi biasanya dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil itulahtumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota kecil itu mengalami proses menjadi kota-kota besar sehingga menjadi kota metropolitan. Di sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan kota (Kuntowijoyo, 2001).

Misalnya lagi, tulisan sejarah yang mengupas tentang perubahan dan keberlanjutan adalah milik Sartono Kartodirdjo (1984), Peasant Revolt of Banten 1888. Tulisan-tulisan Sartono sangat mudah dibedakan karena memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang lain. Pertama, tulisan-tulisan Sartono selalu mengusung tema-tema sosial, sejarah sosial, dan masyarakat. Berbeda dengan tulisan kebanyakan waktu itu yang mengusung tema politik dan sejarah orang besar. Pada waktu itu sejarwan UI, Nugroho Notosusanto merupakan sejarawan yang dekat dengan pemerintah merupakan pelopor sejarah politik dan militer. Kedua, pendekatan yang digunakan Sartono dalam setiap penulisannya yang disebutnya sebagai multidimensional approach, pendekatan ilmu-ilmu sosial yang mempunyai eksplanasio lebih kuat. pemikiran Sartono ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Annales di Perancis. Namun demikian AB. Lapian (1996), menuturkan bahwa Sartono tidak secara sengaja membuat mazhab “Sartono”. Sartono menekankan kerja metodologis dan pendekatan yang integratif, sehingga bisa keluar dari penulisan sejarah konvesional yang menitik beratkan pada politik dan narasi deskriptif. Pendekatan multidimensional dan ilmu-ilmu sosial yang dipeloporinya merupakan bagian dari cara kerjanya untuk keluar dari kerangka sejarah kolonial (Kartodirdjo, 1967).

Ide dan gagasan ini secara tidak langsung memengaruhi pemikiran dan gaya penulisan sejarah murid-muridnya. Seperti diketahui bahwa setelah menamatkan kuliahnya di UI, dia memilih UGM sebagai media menyebarkan ide dan gagasannya. Sejak tahun 1956 Sartono mengajar di jurusan sejarah UGM. Di kampus inilah Sartono menyemaikan bibit pemikiran dan gagasannya. Sudah banyak akademisi dan sejarawan besar yang lahir berkat tangan dinginnya. Sebut saja Prof. T. Ibrahim Alfian, , Prof. Soehartono, Prof. Djoko Soeryo, dan Prof. Taufik Abdullah. Dari beberapa mahasiswanya tersebut kemudian menyebar ke berbagai kampus di luar UGM, misalnya Muhammad Gde Ismail di Universitas Syiah Kuala Aceh, Mestika Zeid di Padang, AA Gde Putra Agung di Udayana Bali, dan Soedharmono di UNS, DjuliatiSoeroyo di Undip. Disadari atau tidak masing-masing dari mereka mengembangkan corak pemikiran Sartono.

Untuk meyakinkan pengaruh pemikiran Sartono pada muridnya mungkin bisa kita analisis dari disertasi yang dipromotori Sartono. Disertasi Ibrahim Alfian yang mengangkat Perang Aceh, perlawanan rakyat Aceh yang berlangsung terus menerus menghadapi Belanda. Dalam disertasinya Alfian membagi perlawanan rakyat Aceh dalam empat fase. Pertama, fase 1873-1875 disaat perang dipimpin langsung oleh para Sultan. Kedua, fase yang berlangsung antara tahun 1876-1896 disaat kepemimpinan beralih pada ulubalang dan Sultan hanya sebagai simbol pemersatu. Ketiga, fase 1896-1903 ketika ulama juga turut mengambil peran dalam perang Aceh, fase ini berakhir dengan ditandai menyerahnya Tuanku Muhammad Daud Syah. Fase keempat merupakan fase dimana terjadi pertempuran besar dibeberapa tempat, mulai dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Melalui fase-fase ini Ibrahim Alfian menggunakan pendekatan analisis struktural sehingga perang Aceh dilihat sebagai proses yang berlapis-lapis bukan sekedar peristiwa tungal. Selain itu juga tidak terlewatkan aspek sosial masyarakat, termasuk juga ideologi yang melatar belakangi munculnya perang dan perlawanan (Alfian, 1989).

 Satu lagi disertasi yang menjadi bimbingan Sartono, adalah karya Soehartono yang membahas perubahan sosial yang terjadi di Surakarta melalui sistem apanage dan bekel. Soehartono (1991) mengungkapkan bahwa dengan adanya sistem apanage yang diterapkan mengakibatkan perang desa. Sistem apanage yang tidak bisa dilepaskan dengan struktur sosial, pola penguasaan tanah yang bertumpu pada hubungan patron-client, dan konsep priyayi-wong cilik. Soehartono menguraikan secara penuh dalam babnya mengenai perubahan sosial yang berlangsung akibat sistem apanage. Keresahan di kalangan pedesaan sebagai pemicu konflik. Tulisan Soehartono jelas dikategorikan sebagai sejarah sosial dengan latar belakang permasalahan agraria. Topik sejarah sosial dan pedesaan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Sartono.

Cicero, seorang filsuf Romawi mengungkapkan bahwa barang siapa yang tidak mengenal sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil. Kemudian Sartono Kartodirdjo menambahkan barang siapa yang lupa sama sekali akan masa lampaunya dapat diibaratkan seperti mereka yang sakit jiwa (Kartodirdjo, 1993). Kedua ungkapan tersebut benar adanya. Seperti yang disebutkan Sartono, bahwa mereka yang lupa akanmasa lampaunya itu telah kehilangan identitas dan oleh karena itu dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya. Hal itu disebabkan karena kelakuannya yang mungkin sudah tidak menentu dan terlepas dari norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Peristiwa yang terjadi adalah sebuah perubahan dalam kehidupan manusia. Sejarah mempelajari aktivitas manusia dalam konteks waktu. Perubahan yang terjadi pada masa lalu mempengaruhi kehidupan masa kini. Perubahan tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Masa lalu merupakan masa yang telah dilalui oleh suatu masyarakat yang selalu berkaitan dengan konsep-konsep dasar berupa waktu dan ruang. Berkaitan dengan peristiwa sejarah yang merupakan perubahan dalam kehidupan manusia di masa lalu. Dewey (1959) menganjurkan bahwa dalam penulisan sejarah harus menulis masa lampau dalam kaitannya dengan masa sekarang. Sejarah harus bersifat instrumental dalam memecahkan masalah masa kini atau sebagai pertimbangan program aksi di masa yang akan datang. Dengan kata lain Dewey, menyarankan bahwa sejarah harus dapat memecahkan masalah sosial yang aktual yang tengah dihadapi oleh sebuah bangsa.

 Ideas Menentukan Sejarah

Dalam Marxisme, yang kita kenal sebagai materealisme (historical materialisme), ada anggapan bahwa yang mengubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide atau gagasan tetapi teknologi, stuktur ekonomi atau penggunaan alat-alat produksi. Marx membagi stuktur masyarakat dalam dua bagian: suprastruktur dan infrastuktur. Suprastruktur adalah bagian yang soft dari sebuah kebudayaan, sedangkan infrastruktur adalah bagian yang hard. Perbandingan antara unsur dalam kebudayaan bisa disamakan dengan software dan hardware yang terdapat pada komputer. Software adalah peralatan komputer itu sendiri. Begitu juga dalam kebudayaan. Yang dibedakan antara program kebudayaan (software) dan kebudayaan itu sendiri (hardware).

Yang termasuk infrastruktur suatu kebudayaan, misalnya, struktur ekonomi atau teknologi kebudayaan iti sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan, agama, ideas, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan ekonomi, misalnya, akan menentukan keadaan kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangatditentukan oleh posisi ekonomi kita di tengah masyarakat. Versi-versi keberagamaan kita sangat ditentukan oleh letak dalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan oleh Marx sebetulnya merupakan antitesis dari apa yang kita bicarakan: bahwa ideas akan menentukan perubahan.

Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial, dan stuktur politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastuktur masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideaslah yang paling menentukan perubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap Marx dikemukakan oleh Marx Weber (Sztompka, 2004).

Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan sosial jika sistem sosialnya juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperang apa-apa. Mereka hanyalah poin-poin kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik, ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan pada masyarakat pada perubahan-perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan. Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun, Weber membalikkan pandangan ini dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosial dimulai dari perubahan tingkah laku manusia. Perubaan dari human action, perubahan dari tindakan-tindakan manusia yang ada dimasyarakat. Karena itu, banyak ahli menganggapWeber sebagai pendiri dari apa yang disebut sociologi humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam perubahan-perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat bahwa superstucture, soft belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbukti dengan munculnya kapitalisme (Rahmat, 1999).

Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang di tegakkan di atas dasar pencarian keuntungan dan tindakan-tindakan rasional. Kata Marx Weber, kapitalisme adalah pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula institusi-intitusi dan penguasaan-penguasaan baru yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul dipermukaan. Menurut Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahian kapitalisme. Ada sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengna kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme muncul karena sekelompok orang yang di sebut Webersangat newentrepreneur (pengusaha-pengusaha baru) melakukan serangkaian tindakan (human action). Tindakan itu didasarkan pada semangat yang disebut semangat kapitalisme. Semangat kapitalisme terdiri dari tiga rukun berikut; Motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud atau sederhana (ascetic orentation), dan semangat misi (ideas of calling).

 Manusia-Manusia Besar

Teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarah) dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle (1841), misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (para pahlawan dan pemujaan pahlawan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the world is the biography of the great man”. Pada salah satu bagian, dia menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, pahlawan sebagai Nabi. Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatakan, “sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.

Ada tiga macam tipe individu di tengah-tengah masyarakat (Rahmat, 1999). Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa) seperti kita yang membentuk jaringanjaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa memasukkan mereka sebagai individu besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saja dan mempunyai kearifan yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan masayarakat di sekitarnya. Exceptional actors ini termasuk para nabi, pembaharu, dan tokoh sejarah besar. Mereka mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia yang lain. Tipe terakhir adalah orang-orang yang berada di antara kedua tipe tadi. Orang seperti ini tidak mempunyai kebijakan dan pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu mereka biasanya disebut holders of exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki kearifan yang rendah, tiba-tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan jalannya sejarah dan dapat mempengaruhi proses perubahan perubahan sosial. Bahkan, sekiranya dia buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapat menentukan jalannya sejarah, paling tidak di negerinya sendiri.

Lalu apa yang dilakukan oleh great individuals itu untuk mengubah sejarah? Ada beberapa type of actions yang dilakukan oleh manusia. Sebagai anggota masyarakat kita berada dalam sebuah spektrum, dari private actions, tindakan orang yang mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak yang menimbulkan perubahan sosial, sampai tindakan bersama (collective actions) yang tidak terorganisasi, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Demonstrasi-demonstrasi yang belakangan marak, biasanya hanya bersifat temporer. Kerusuhan-kerusuhan juga menimbulkan perubahan sosial, tetapi tidak berdampak besar kepada masyarakat sebagai bangsa. Collective actions ini biasanya dilakukan oleh social movement (gerakan-gerakan sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi adalah tindakan-tindakan yang terorganisasi, terencana, dan sudah disiapkan sebelumnya, seperti organizing dan mobilizing. Dalam istilah Bung Karno, ada yang dikenal dengan pembentukan kekuatan dan pemanfaatan kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang mengorganisasi rencana-rencana mereka membentuk kekuatan dan memanfaatkan kekuatan itu. Tindakan yang paling akhir adalah tindakan-tindakan politik (political action). Seorang great individuals diukur pengaruhnya dari seluruh tindakan ini (Sztompka, 2004).

 Revolusi

Ketika seluruh bangsa dilanda krisis, semua orang menuntut perubahan. Makin menderita bangsa itu, makin ingin perubahan itu segera terjadi. Revolusi muncul sebagai strategi terbaik. Reformasi dianggap terlalu lamban, sementara perut tidak bisa menunggu. Bila penyakit sosial seperti korupsi sudah berurat berakar dalam seluruh tubuh bangsa, kita memerlukan pembedahan total; yakni, revolusi. Ada kerinduan untuk menyongsong revolusi. Ada kebanggaan dalam gerakan revolusioner. Ada banyak contoh bangsa-bangsa besar lahir dari puing-puing revolusi. Tetapi, pada saat yang sama, ada ketakutan akan kedahsyatan revolusi. Bayangan kita tentang revolusi itu ambigu. Pada satu sisi, revolusi dipandang sebagai pelita harapan, yang membimbing kita dari kegelapan status quo pada cahaya masa depan. Pada sisi lain, revolusi dilihat sebagai momok yang mengerikan, bersimbah darah, dan penuh adegan kekerasan (Sztompka, 2004).

Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidakmembiarkan apapun seperti sebelumnya; revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertin ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial. Karena muatan makna yang sarat ideologis, revolusi sering dirancukan dengan berbagai cara perubahan sosial lainnya. Revolusi memang perubahan yang cepat; tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka, paling tidak ada lima ciri yang membedakan revolusi dari jenis-jenis perubahan sosial lainnya :

1.      Revolusi menimbulkan perubahan pada skala yang paling luas; menyentuh semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, kepribadian manusia;

2.      Pada semua bidang kehidupan ini, perubahannya bersifat radikal, fundamental, mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi masyarakat;

3.      Perubahan berlangsung dengan sangat cepat, seperti sebuah ledakan dinamika yang terbersit dari arus lamban proses sejarah;

4.      Revolusi juga menunjukkan perubahan yang paling kentara; karena itu paling dikenang;

5.      Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang sangat istimewa pada para peserta atau saksi revolusi: semangat yang membara, ledakan mobilisasi massa, optimisme, perasaan perkasa, kegembiraan dalam keikutsertaan pada ‘pesta’ revolusi; aspirasi yang melangit dan utopia masa depan.

Perubahan sosial bisa dilakukan dengan revolusi atau people’s power. Revolusi atau people’s power merupakan bagian dari power strategy (strategi perubahan sosial dengan kekuasaan). Dan revolusi merupakan puncak dari semua bentuk perubahan sosial. Karena, ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal, massal, cepat, mencolok, dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Strategi perubahan yang lainnya adalah persuasive strategy (strategi persuasif).

Dalam strategi ini, media massa bisa sangat berperan. Karena, pada umumnya, strategi persuasif dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C. Brown memasukkan propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial (Ritzer, 2003).

 

C.   Keberlanjutan dalam Sejarah

Dalam mempelajari sejarah, rangkaian peristiwa yang ada merupakan peristiwa yang berkelanjutan. Kehidupan manusia saat ini merupakan mata rantai dari kehidupan masa lampau, sekarang dan masa mendatang. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri dan tidak terpisahkan dari peristiwa lain. Roeslan Abdulgani (1963) menyatakan ilmu sejarah dapat diibaratkan sebagai penglihatan terhadap tiga dimensi, yaitu penglihatan ke masa silam, masa sekarang, dan masa depan. Hal ini sejalan dengan Arnold J. Toynbee (2004) yang mengatakan bahwa mempelajari sejarah adalah mempelajari masa lampau, untuk membangun masa depan (to study history is to study the past to build the future).

Selain membahas manusia atau masyarakat, sejarah juga melihat hal lain yaitu waktu. Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah. Sehubungan dengan konsep waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2013) meliputi perkembangan, keberlanjutan/kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Semua aspek itu memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah, sehingga secara pasti dinamika perjalanan sejarah sebuah bangsa berlangsung dalam bingkai perkembangan, keberlanjutan/kesinambungan, pengulangan dan perubahan yang tidak pernah berhenti dalam satu titik atau pola.

 Disebut mengalami perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara berturut-turut dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi biasanya dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota-kota kecil mengalami proses menjadi kota-kota besar hingga menjadi kota metropolitan. Di sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan kota.

Kesinambungan terjadi bila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama. Misalnya pada masa kolonial, kebijakan pemerintah kolonial mengadopsi kebiasaan lama, antara lain dalam menarik upeti raja taklukan, Belanda meniru raja-raja pribumi. Sementara itu disebut pengulangan apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi pada masa berikutnya, misalnya menjelang presiden Soekarno jatuh dari kekuasaannya pada tahun 1960-an banyak terjadi aksi dan demonstrasi,khususnya yang dilakukan oleh para mahasiswa. Demikian halnya menjelang presiden Soeharto jatuh pada 1998, juga banyak terjadi aksi dan demonstrasi.

Sedangkan dikatakan perubahan apabila dalam masyarakat terjadi perkembangan secara besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan terjadi karena adanya pengaruh dari luar. Misalnya gerakan nasionalisme di Indonesia sering dianggap sebagai kepanjangan dari gerakan romantik di Eropa.

Berhubungan dengan konsep keberlanjutan inilah dikisahkan kehidupan manusia pada masa lalu. Masa lalu merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Namun, masa lalu bukanlah suatu masa yang terhenti dan tertutup. Masa lalu bersifat terbuka dan berkesinambungan sehingga dalam sejarah, masa lalu manusia bukan demi masa lalu itu sendiri. Segala hal yang terjadi di masa lalu dapat dijadikan acuan untuk bertindak di masa kini dan untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa datang (Kuntowijoyo, 2013).


Comments

Popular posts from this blog