INTENSIF PERSIAPAN SEMESTERAN GANJIL SEJARAH INDONESIA TA. 2019/2020 BIDANG KEAHLIAN KESEHATAN & BIDANG KEAHLIAN PARIWISATA
BAB 1
MENELUSURI PERADABAN AWAL DI KEPULAUAN INDONESIA
Kehidupan Manusia Sebelum Mengenal
Tulisan
Penggunaan Istilah Pra Sejarah & Pra Aksara
Penggunaan istilah prasejarah untuk menggambarkan
perkembangan kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal tulisan kurang
tepat. Pra berarti sebelum dan sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa
lalu yang berhubungan dengan aktivitas dan perilaku manusia, sehingga
prasejarah berarti sebelum ada sejarah. Sebelum ada sejarah berarti sebelum ada
aktivitas kehidupan manusia.
Dalam
kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan manusia
sudah memiliki sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para
ahli mempopulerkan istilah praaksara untuk menggantikan istilah prasejarah.
Praaksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti
sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian, zaman praaksara
adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip
dengan istilah praaksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka
berarti tulisan.
Karena belum ada tulisan bagaimana Kita
Mengetahui Masa Itu?
Karena
belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan manusia
adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita temukan. Kapan
waktu dimulainya zaman praaksara?
Kapan zaman praaksara itu dimulai?
Zaman praaksara dimulai sudah
tentu sejak manusia ada; itulah titik dimulainya masa praaksara.
Kapan tepatnya manusia itu mulai ada di bumi
ini?
Pertanyaan
yang sulit untuk dijawab adalah kapan tepatnya manusia itu mulai ada di bumi
ini sebagai pertanda dimulainya zaman praaksara? Sampai sekarang para ahli
belum dapat secara pasti menunjuk waktu kapan mulai ada manusia di muka bumi
ini.
Untuk
menjawab pertanyaan itu kamu perlu memahami kronologi perjalanan kehidupan di
permukaan bumi yang rentang waktunya sangat panjang. Bumi yang kita huni
sekarang diperkirakan mulai terbentuk sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.
Bagaimana kalau kita ingin
melakukan kajian tentang kehidupan zaman praaksara?
Untuk
menyelidiki zaman praaksara, para sejarawan harus menggunakan metode penelitian
ilmu arkeologi dan juga ilmu alam seperti geologi dan biologi. Ilmu arkeologi
adalah bidang ilmu yang mengkaji bukti-bukti atau jejak tinggalan fisik,
seperti lempeng artefak, monumen, candi dan sebagainya.
Berikutnya
menggunakan ilmu geologi dan percabangannya, terutama yang berkenaan dengan
pengkajian usia lapisan bumi, dan biologi berkenaan dengan kajian tentang ragam
hayati (biodiversitas) makhluk hidup.
Mengingat
jauhnya jarak waktu masa praaksara dengan kita sekarang, maka tidak jarang
orang mempersoalkan apa perlunya kita belajar tentang zaman praaksara yang
sudah lama ditinggalkan oleh manusia modern. Pandangan seperti ini sungguh
menyesatkan, sebab tentu ada hubungannya dengan kekinian kita.
Beberapa
di antaranya akan dikemukakan berikut ini; data etnografi yang menggambarkan
kehidupan masyarakat praaksara ternyata masih berlangsung sampai sekarang.
Entah itu pola hunian, pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional dan
konsepsi kepercayaan tentang hubungan harmoni antara manusia dan alam, bahkan
kebiasaan memelihara hewan seperti anjing dan kucing di lingkungan manusia
modern perkotaan. Demikian pula kebiasaan bertani merambah hutan dengan motode
‘tebang lalu bakar’ (slash and burn) untuk memenuhi kebutuhan secukupnya masih
ada hingga kini. Namun, kebiasaan merambah hutan dan hidup berpindah-pindah
pada masa lampau tidak menimbulkan malapetaka asap yang mengganggu penerbangan
domestik. Selain itu, juga mengganggu bandara negara tetangga Singapura dan Malaysia
seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi manusia modernlah yang
mampu melakukan perambahan hutan secara besar-besaran, entah itu untuk
perkebunan atau pertambangan dan permukiman real estate sehingga menimbulkan
malapetaka kabut asap dan kerusakan lingkungan.
Arti penting dari
pembelajaran tentang sejarah kehidupan zaman praaksara?
Arti penting dari pembelajaran tentang sejarah kehidupan zaman
praaksara pertama-tama adalah kesadaran akan asal usulmanusia. Tumbuhan
memiliki akar. Semakin tinggi tumbuhan itu, semakin dalam pula akarnya
menghunjam ke bumi hingga tidakmudah tumbang dari terpaan angin badai atau
bencana alam lainnya. Demikian pula halnya dengan manusia.
Semakin berbudaya seseorang atau kelompok masyarakat, semakin dalam
pula kesadaran kolektifnya tentang asal usul dan penghargaan terhadap tradisi. Jika
tidak demikian, manusia yang melupakan budaya bangsanya akan mudah
terombang-ambing oleh terpaan budaya asing yang lebih kuat, sehingga dengan
sendirinya kehilangan identitas diri. Jadi bangsa yang gampang meninggalkan
tradisi nenek moyangnya akan mudah didikte oleh budaya dominan dari luar yang
bukan miliknya.
Kita bisa belajar banyak dari keberhasilan dan capaian prestasi
terbaik dari pendahulu kita. Sebaliknya kita juga belajar dari kegagalan mereka
yang telah menimbulkan malapetaka bagi dirinya atau bagi banyak orang. Untuk
memetik pelajaran dari uraian ini, dapat kita katakan bahwa nilai terpenting
dalam pembelajaran sejarah tentang zaman praaksara, dan sesudahnya ada dua
yaitu sebagai inspirasi untuk pengembangan nalar kehidupan dan sebagai
peringatan. Selebihnya kecerdasan dan pikiran-pikiran kritislah yang akan
menerangi kehidupan masa kini dan masa depan.
Kapan zaman praaksara itu berakhir?
Sekarang muncul pertanyaan, sejak kapan zaman praaksara berakhir?
Sudah barang tentu zaman praaksara itu berakhir setelah kehidupan manusia mulai
mengenal tulisan. Terkait dengan masa berakhirnya zaman praaksara masing-masing
tempat akan berbeda.
Penduduk di Kepulauan Indonesia baru memasuki masa aksara sekitar
abad ke-5 M. Hal ini jauh lebih terlambat bila dibandingkan di tempat lain
misalnya Mesir dan Mesopotamia yang sudah mengenal tulisan sejak sekitar tahun
3000 SM. Fakta-fakta masa aksara di Kepulauan Indonesia dihubungkan dengan
temuan prasasti peninggalan kerajaan tua seperti Kerajaan Kutai di Muara Kaman,
Kalimantan Timur.
Uji Kompetensi
1. Gambaran
kehidupan dan budaya manusia saat sebelum mengenal tulisan yang tepat adalah ….
2. Masa
Praaksara adalah masa di mana manusia belum mengenal....
3. Buat
tulisan telaah kritis mengapa istilah praaksara lebih tepat dibandingkan dengan
istilah prasejarah untuk menggambarkan kehidupan manusia sebelum mengenal
tulisan!
4. Buat
tulisan telaah kritis Secara metodologis bagaimana kita dapat mengetahui
kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan!
5. Mesir
mengakhiri zaman praaksara sekitar tahun 3000 SM, tetapi di Indonesia baru abad
ke-5 M. Buat tulisan telaah kritis mengapa demikian!
6. Buat
tulisan telaah kritis apa saja pelajaran yang dapat Anda peroleh dari belajar
kehidupan pada zaman praaksara!
Terbentuknya Kepulauan Indonesia
Kelahiran dan Evolusi Bumi : Teori “Dentuman Besar” (Big
Bang)
Ada banyak teori dan penjelasan tentang penciptaan bumi, mulai dari
mitos sampai kepada penjelasan agama dan ilmu pengetahuan. Kali ini kamu
belajar sejarah sebagai cabang keilmuan, pembahasannya adalah pendekatan ilmu
pengetahuan, yakni asumsi-asumsi ilmiah, yang kiranya juga tidak perlu
bertentangan dengan ajaran agama.
Salah satu di antara teori ilmiah tentang terbentuknya bumi adalah
Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), yang dikemukakan oleh sejumlah ilmuwan,
misalnya ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking.
Teori ini menyatakan bahwa alam semesta mulanya berbentuk gumpalan
gas yang mengisi seluruh ruang jagat raya. Jika digunakan teleskop besar Mount
Wilson untuk mengamatinya akan terlihat ruang jagat raya itu luasnya mencapai
radius 500 juta tahun cahaya.
Gumpalan gas itu suatu saat meledak dengan satu dentuman yang amat
dahsyat. Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta mulai berdesakan
satu sama lain dalam kondisi suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga
hanya tersisa energi berupa proton, neutron dan elektron, yang bertebaran ke
seluruh arah.
Ledakan dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam semesta
yang menyebar dan menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi,
bintang-bintang, matahari, planet-planet, bumi, bulan dan meteorit. Bumi kita
hanyalah salah satu titik kecil saja di antara tata surya yang mengisi jagat
semesta.
Di samping itu banyak planet lain termasuk bintang-bintang yang menghiasi
langit yang tak terhitung jumlahnya. Boleh jadi ukurannya jauh lebih besar dari
planet bumi. Bintang-bintang berkumpul dalam suatu gugusan, meskipun
antarbintang berjauhan letaknya di angkasa.
Ada juga ilmuwan astronomi yang mengibaratkan galaksi bintang-bintang
itu tak ubahnya seperti sekumpulan anak ayam, yang tak mungkin dipisahkan dari
induknya. Jadi di mana ada anak ayam di situ pasti ada induknya. Seperti halnya
dengan anak-anak ayam, bintang-bintang di angkasa tak mungkin gemerlap
sendirian tanpa disandingi dengan bintang lainnya. Sistem alam semesta dengan
semua benda langit sudah tersusun secara menakjubkan dan masing-masing beredar
secara teratur dan rapi pada sumbunya masing-masing.
Selanjutnya proses evolusi alam semesta itu memakan waktu kosmologis
yang sangat lama sampai berjuta tahun. Terjadinya evolusi bumi sampai adanya
kehidupan memakan waktu yang sangat panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam
enam tahap waktu geologis. Masing-masing ditandai oleh peristiwa alam yang
menonjol, seperti munculnya gunung-gunung, benua, dan makhluk hidup yang paling
sederhana.
Priodenisasi Evolusi Bumi
Sedangkan proses evolusi bumi dibagi menjadi beberapa periode
sebagai berikut.
1. Azoikum
(Yunani: a = tidak; zoon = hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada
saat ini bumi baru terbentuk dengan suhu yang relatif tinggi. Waktunya lebih
dari satu miliar tahun lalu;
2. Palaezoikum,
yaitu zaman purba tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil flora dan
fauna. Berlangsung kira-kira 350 juta tahun;
3. Mesozoikum,
yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia (menyusui), hewan amfibi,
burung dan tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140 juta tahun;
4. Neozoikum,
yaitu zaman purba baru, yang dimulai sejak 60 juta tahun yang lalu. Zaman ini
dapat dibagi lagi menjadi dua tahap (Tersier dan Kuarter). Zaman es mulai
menyusut dan makhluk-makhluk tingkat tinggi dan manusia mulai hidup.
Bagaimana Proses Terbentuknya
Kepulauan Indonesia
Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah Kepulauan Indonesia terbentuk
melalui proses yang panjang dan rumit. Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan
ini hanya diisi flora dan fauna yang masih sangat kecil dan sederhana. Alam
juga harus menjalani evolusi terus-menerus untuk menemukan keseimbangan agar
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam dan iklim, sehingga
makhluk hidup dapat bertahan dan berkembang biak mengikuti seleksi alam.
Gugusan kepulauan ataupun wilayah maritim seperti yang kita temukan
sekarang ini terletak di antara dua benua dan dua samudra, antara Benua Asia di
utara dan Australia di selatan, antara Samudra Hindia di barat dan Samudra
Pasifik di belahan timur.
Faktor letak ini memainkan peran strategis sejak zaman kuno sampai
sekarang. Namun sebelum itu marilah kita sebentar berkenalan dengan kondisi
alamnya, terutama unsur-unsur geologi atau unsurunsur geodinamika yang sangat
berperan dalam pembentukan Kepulauan Indonesia.
Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia
terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti
perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam
tekanan dan suhunya semakin tinggi.
Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga
material di bagian dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu tinggi ini
terus-menerus bergejolak mempertahankan cairan sejak jutaan
tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk
lava cair. Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin dari
ribuan derajat menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada suhu ini
cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak.
Keberadaan kerak benua (daratan) dan kerak samudra selalu bergerak
secara dinamis akibat tekanan magma dari perut bumi. Pergerakan unsur-unsur
geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.
Sebagian wilayah Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara
tiga lempeng, yaitu Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara
dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempenglempeng tersebut dapat berupa
subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah)
dan kolisi (tumbukan lempeng). Pergerakan lain dapat berupa pemisahan atau
divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng.
Pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng tersebut
masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan lempeng-lempeng tersebut
menimbulkan dampak yang berbedabeda.
Namun semuanya telah menyebabkan wilayah Kepulauan Indonesia secara
tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif dan labil
hingga rawan gempa sepanjang waktu.
Bagaimana Proses Terbentuknya
Kepulauan Indonesia masa Paleozoikum (Masa Kehidupan Tertua)
Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis
Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah
ini masih merupakan bagian dari samudra yang sangat luas, meliputi hampir
seluruh bumi. Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar
65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan
lempenglempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Kegiatan ini dikenal
sebagai fase tektonis (orogenesa larami), sehingga menyebabkan daratan
terpecah-pecah.
Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang terpisah satu dengan
lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau
Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat
dan Kepulauan Banda.
Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian
pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa
Tenggara Timur dan sebagian Maluku Tenggara.
Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua benua tersebut
telah mengakibatkan wilayah pertemuan keduanya sangat labil. Kegiatan tektonis
yang sangat aktif dan kuat telah membentuk rangkaian Kepulauan Indonesia pada
masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.
Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa telah
tenggelam menjadi laut dangkal sebagai akibat terjadinya proses kenaikan
permukaan laut atau transgresi.
Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah
mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan
sedimentasi laut dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan batu gamping.
Bagaimana Proses Terbentuknya
Kepulauan Indonesia Masa Kala Pliosen
Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan
tektonis yang sangat kuat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan
permukaan bumi dan kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya
(atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural seperti
perbukitan besar (gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api
aktif sepanjang gugusan perbukitan itu. Kegiatan tektonis dan
vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen, yang dikenal sebagai kegiatan
tektonis Plio-Pleistosen.
Kegiatan tektonis ini berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia.
Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang
bagian barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur
hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang
sepanjang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Pembentukan daratan yang semakin luas itu telah membentuk Kepulauan
Indonesia pada kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah
berlangsung sejak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu).
Jadi pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak secara
dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa, baik vulkanis
maupun tektonis.
Letak Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api
membuatnya menjadi daerah dengan tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang
sangat tinggi. Kekayaan alam dan kondisi geografis ini telah mendorong lahirnya
penelitian dari bangsa-bangsa lain. Dari sekian banyak penelitian terhadap
flora dan fauna tersebut yang paling terkenal di antaranya adalah penelitian
Alfred Russel Wallace yang membagi Indonesia dalam dua wilayah yang berbeda
berdasarkan ciri khusus baik fauna maupun floranya.
Pembagian itu adalah Paparan Sahul di sebelah timur, Paparan Sunda
di sebelah barat. Zona di antara paparan tersebut kemudian dikenal sebagai
wilayah Wallacea yang merupakan pembatas fauna yang membentang dari Selat
Lombok hingga Selat Makassar ke arah utara. Fauna-fauna yang berada di sebelah
barat garis pembatas itu disebut dengan Indo-Malayan region.
Di sebelah timur disebut dengan Australia Malayan
region. Garis itulah yang kemudian kita kenal dengan Garis Wallacea. Merujuk
pada tarikh bumi di atas, keberadaan manusia di muka bumi dimulai pada zaman
Kuarter sekitar 600.000 tahun lalu atau disebut juga zaman es.
Dinamakan zaman es karena selama itu es dari kutub berkali-kali
meluas sampai menutupi sebagian besar permukaan bumi dari Eropa Utara, Asia
Utara dan Amerika Utara Peristiwa itu terjadi karena panas bumi tidak tetap,
adakalanya naik dan adakalanya turun. Jika ukuran panas bumi turun dratis maka
es akan mencapai luas yang sebesar-besarnya dan air laut akan turun atau
disebut zaman Glasial. Sebaliknya jika ukuran panas naik, maka es akan mencair
dan permukaan air laut akan naik yang disebut zaman Interglasial.
Bagaimana Proses Terbentuknya
Kepulauan Indonesia Masa Glasial & Masa Interglasial
Zaman Glasial dan zaman Interglasial ini berlangsung silih berganti
selama zaman Diluvium (Pleistosen). Hal ini menimbulkan berbagai perubahan
iklim di seluruh dunia, yang kemudian mempengaruhi keadaan bumi serta kehidupan
yang ada diatasnya termasuk manusia, sedangkan zaman Aluvium (Holosen)
berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu hingga sekarang ini. Sejak zaman
ini mulai terlihat secara nyata adanya perkembangan kehidupan manusia, meskipun
dalam taraf yang sangat sederhana baik fisik maupun kemampuan berpikirnya.
Gambar
Peta Zoogeografi Kepulauan Indonesia
Namun demikian dalam rangka untuk mempertahankan diri dan
keberlangsungan kehidupannya, secara lambat laun manusia mulai mengembangkan
kebudayaan. Beruntung kita bangsa Indonesia memiliki temuan bermacam-macam
jenis manusia purba beserta hasil-hasil kebudayaannya, sehingga sejak akhir
abad ke-19 para ilmuwan tertarik untuk melakukan kajian di negeri kita.
Uji Kompetensi
1. keberadaan
manusia di muka bumi dimulai pada zaman ….
2. Letak
Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api membuatnya menjadi ….
3. Zaman Glasial
dan zaman Interglasial ini berlangsung silih berganti selama zaman ….
4. Dinamakan
zaman es karena ….
5. Dari
sekian banyak penelitian terhadap flora dan fauna tersebut yang paling terkenal
di antaranya adalah penelitian dari ….
6. Kita
wajib bersyukur karena Tuhan Yang Maha Pencipta telah menciptakan bumi kita ini
dengan arif dan bijaksana serta penuh kasih sayang kepada makhluk ciptaan-Nya.
Coba buat tulisaan telaah kritis tentang penjelasan mengenai pernyataan tersebut!
7. Menurut
kamu nilai-nilai apa yang dapat dipetik dari proses terbentuknya pulau-pulau di
Kepulauan Indonesia; coba buat tulisaan telaah kritis tentang penjelasan
mengenai pernyataan tersebut!
8. Hikmah
apa yang dapat kita peroleh dengan bertempat tinggal di wilayah yang sering
terjadi bencana alam; coba buat tulisaan telaah kritis tentang penjelasan
mengenai pernyataan tersebut!
9. Di
setiap daerah tentu ada cerita rakyat ataupun dongeng yang berkaitan dengan
bencana alam seperti gempa maupun gunung meletus; coba buat tulisaan telaah
kritis tentang penjelasan mengenai pernyataan tersebut!
10. Coba
buat tulisaan telaah kritis tentang penjelasan bencana alam yang pernah terjadi
di daerahmu dan di Indonesia!
Manusia Purba di Indonesia
Pernahkah Anda mendengar tentang Situs Manusia
Purba Sangiran
Situs Manusia
Purba Sangiran; kini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia,
tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia.
Pengakuan
tersebut didasari berbagai pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya karena
di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan
proses kehidupan manusia dari masa lalu.
Sangiran
telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Berbagai penelitian dari para
ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. Beberapa temuan fosil di Sangiran
telah mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian termasuk di luar
Sangiran.
Bagaimana Ciri-Ciri Manusia Purba Indonesia
Dari
Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah
ditetapkan sebagai warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan
sebagai pusat penelitian dalam negeri dan luar negeri, serta sebagai tempat
wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada masyarakat di
sekitarnya, karena
pariwisata di daerah tersebut.
Perjalanan kisah perkembangan manusia di Kepulauan Indonesia tidak
dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan tandus yang
berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu
dikenal dengan nama Situs Sangiran.
Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran
Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs
manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di
Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan
manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak
150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer
pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran
merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat
adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan
yang bergelombang.
Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai
lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk
artefak.
Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung
hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada
musim kemarau.
Gambar Von Koenigswald
Sangiran
pertama kali ditemukan dan diteliti oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan
laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran.
Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu
yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang
tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph
von Koenigswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak
sekitar dua kilometer di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang
kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran.
Semenjak
penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan
dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan
berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah
manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Situs
Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja,
akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang,
dan juga lingkungan.
Beberapa
fosil yang ditemukan dalam seri geologisstratigrafis yang diendapkan tanpa
terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukkan tentang hal itu.
Situs
Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs
itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum
dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
Sebelum penemuannya di
Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa
Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa
Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng.
Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus
ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian
prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia
bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang
hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Trinil adalah sebuah desa di
pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur.Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum
von Koenigswald menemukan Sangiran pada 1934.
Ekskavasi yang dilakukan oleh
Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi
dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan
Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan
beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah
berjalan tegak.
Gambar Eugene Dubois; banyak
mengabadikan hidupnya untuk menggali fosil manusia purba
Tengkorak Pithecanthropus erectus
dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar
900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusiamodern (1.200-1.400 cc).
Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapatpenyempitan
yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian
belakangkepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan
perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala,
ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa. Selain tempat-tempat di
atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto,
Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa
Tengah.
Temuan berupa tengkorak
anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian
Koenigswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan
diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon
yang digunakan oleh Teuku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat di
sekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta
tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan batu apung dari
dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan
tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk dikaji lebih lanjut. Bila
penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto
ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah di antara kamu
yang tertarik untuk melakukan pengujian ini?
Temuan Homo erectus juga
ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten
Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan
volume otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini
lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia
Ngandong diperkirakan berumur
antara 300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa
jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman praaksara.
Bagaimana Jenis-Jenis Manusia Purba Indonesia
Meganthropus
Jenis
manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran
tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia berukuran besar. Dari
hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan
sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa.
Jenis
manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap.
Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya
diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
Pithecanthropus
Jenis
manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat
Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah
direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda tanda kera.
Oleh
karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang
berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut
Pithecanthropus mojokertensis.
Jenis
manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak
ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan
berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
Homo
Fosil
jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian
dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai
jenis Homo.
Ciri-ciri
jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga
masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus.
Bentuk
fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan
jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat
penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia, tetapi juga di Filipina dan
Cina Selatan.
Homo
sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang
secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens
juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berpikir
dan menyiasati tantangan alam.
Bagaimanakah Manusia Purba Indonesia ini muncul
ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru
dunia hingga saat ini
Bagaimanakah
mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke
berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat
melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus.
Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah
satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo
erectus.
Hal ini
mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah disbanding sang
pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo
sapiens menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern
dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling
signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak.
Homo
sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc),
dengan atap tengkorak yang jauh lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan
dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan
kapasitas otak 1.000 cc. Segi-segi
morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat
nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya
tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya,
dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan
bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan
Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalamtiga
tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir
zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan
manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal
sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul
penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa
Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam
ras Mongolid.
Beberapa
spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai
berikut,
Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo
wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara
dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala
Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten
di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat
Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak,
termasuk fragmen rahang bawah dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu
adalah Homo sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian
mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur
kening nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30
tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois
pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang
tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering.
Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Pada tengkorak
laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah
besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai
gigi muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya
kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar.
Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan
Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun
Austromelanesoid. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah sub-ras Melayu
Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Hal
itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu
berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka kebelakang.
Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena sangat datar dan pipinya sangat
menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri kedua ras
di atas.
Temuan Wajak menunjukkan pada
kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo
sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang,
sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Manusia
Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan
Homo neanderthalensis Manusia
Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan
tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini
merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian
kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih
dekat dengan sub-ras Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan
Melanesoid sekarang lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai
bentuknya yang sekarang di tempatnya yang baru. Mungkin juga ras
Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.
Manusia Liang Bua
Pengumuman
tentang penemuan manusia Homo floresiensis pada tahun 2004 menggemparkan dunia
ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim
peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores.
Liang
Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua
yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan
tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa praaksara. Hal itu bisa
dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di
sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya.
Liang Bua
merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di
Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di
Kepulauan Indonesia.
Manusia
Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood bersama-sama dengan
Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan September 2003 lalu.
Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama
Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada
tahun 1950-an, sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang
adanya kehidupan praaksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa
fragmen tulang manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan
berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka
manusia beserta beberapa bekal kubur yangantara lain berupa beliung dan barang-barang
gerabah. Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan
paleometalik.
Manusia
Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil,
dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo
erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada
di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada
tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan
penelitian beberapa kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu
sebanding dengan temuan-temuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu
menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari
fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.
Menurut
Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman
Mesolitik, dengan ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang
memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J.
Morwood, kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan
University of New England, Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa
sisa manusia tidak kurang dari enam individu yang menunjukkan aspek morfologis
dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat
batu dan sisa-sisa binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis
stegodon. Temuan itu sempat menjadi bahan perdebatan mengenai status
taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu
Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan
genus Homo?
Dalam
pengamatan yang lebih mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada
percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo
erectus dan Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua
1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan
pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo sapiens juga sangat
terlihat jelas.
Namun
demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan
evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa hidup Manusia Liang Bua
sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai
satu dari variasi Homo sapiens.
Bagaimana Perdebatan Antara Pithecantropus ke
Homo Erectus
Penemuan
fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi
manusia yang dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widianto menuliskan
perdebatan itu seperti berikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang
dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam
publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin,
Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera merupakan moyang
manusia. Pernyataan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap
tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar dan tulang paha yang
berciri modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa
tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik
Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusia modern?
Lima
puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi
Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat
dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual dan permukaan occlusal yang
sangat berkerut-kerut.
Perdebatan
itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan
tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda
dan dalam pameran publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan
pameran itu banyak ahli yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun
kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu
mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya
sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun
1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu
terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesis
dan heterokroni. Seorang
teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal.
Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan
modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari kera ke manusia
terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus. Dubois dan Bolk kemudian
bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa
filogenesa dan ontogenesis sama sekali tidak dapat dipisahkan.
Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs
Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia,
yang diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta
tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus
erectus.
Seorang
ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan
Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda
dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi
ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil.
Karena
itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam
pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakkan dalam genus Homo,
dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka
berakhirlah debat panjang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan
manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai
hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus.
Uji Kompetensi
1.
Mengapa
para ahli banyak melakukan penelitian manusia purba di bantaran sungai?
2.
Mengapa
hasil penelitian Dubois di Trinil disebut sebagai jenis Pithecanthropus erectus
(kera yang berjalan tegak)?
3.
Buat
tulisan telaah kritis menurut pendapat Anda, bagaimana manusia purba bisa
menyebar ke dalam wilayah Kepulauan Indonesia bahkan sampai ke luar wilayah
Kepulauan Indonesia?
4.
Buat
tulisan telaah kritis (2–3 halaman) dengan tajuk, Sangiran Laboratorium Manusia
Purba!
5.
Coba Anda
inventarisir berbagai situs dan tinggalan manusia purba di daerah Anda
masing-masing. Yang di inventarisir menyangkut akan :
a.
Nama
situs
b.
Fungsi
pada masa lalu
c.
Fungsi
pada masa sekarang
d.
Letak
(Kecamatan atau Kabupaten/Kota)
Comments
Post a Comment